Senin, 13 Juli 2009

Ironi 1000 km




Sore sudah mendekati rembang petang, saat kendaraan yang membawa saya dan Papa meluncur menjauh dari bandara Ahmad Yani. Berbincang berdua saja dengan Papa seperti ini menjadi hal yang langka sejak 7 tahun yang lalu, tidak hanya karena beliau memang cukup pendiam, tapi juga keputusan saya untuk meninggalkan rumah sejak 2001 membuat frekuensi bertemu kami menjadi jauh dari sering. Kami bicara banyak hal, mulai dari kronologi tewasnya kucing terakhir kami hingga rencana saya ke depan dan harapan-harapan Papa dalam rencana-rencana saya. Terasa manis ...


Saat taksi berhenti di lampu merah, some where, di luar kota Semarang, saya lihat Papa menerawang melihat keluar. Saya ikuti pandangannya. Anak-anak seusia sepupu-sepupu kecil saya, tak lebih dari 12 tahun, rata-rata 7-8 tahun. Rambut kemerahan, kulit kering coklat gelap menunjukkan terik matahari, debu jalanan, dan karbondioksida knalpot kendaraan telah akrab dengan hari-hari mereka. Mereka meneriakkan asongan, menjeritkan lagu-lagu balada orang dewasa, atau sekedar menadah tangan mengharap kasihan dengan wajah polos mereka diantara laju mobil yang bahkan kadang jendela pintunya saja lebih tinggi dari leher mereka. Miris. Saya tidak menanyakan apa yang Papa saya pikirkan saat itu, karena saya pribadi selalu punya pertanyaan yang sama pada diri saya sendiri setiap kali terpaku pada pemandangan yang sama. Siapa dan dimana orang tua mereka?


Pertanyaan itu selalu muncul, karena masa kecil saya selalu dipenuhi dengan instruksi untuk pulang tepat waktu setelah sekolah, tidur siang, pamit pada orang di rumah tiap kali akan pergi lengkap dengan laporan akan pergi kemana, dengan siapa, dan seberapa lama. Hampir bisa dibilang, meskipun jaman itu teknologi komunikasi belum sepesat sekarang, mereka selalu update dengan kondisi saya. Lalu pada mereka yang bermain dengan kerasnya jalanan, apakah orangtua mereka mengetahuinya? Tidakkah mereka merasa kuatir? Atau, justru mereka ada di jalan karena tuntutan kondisi ekonomi orang tua? Dan atau bahkan, mereka tak tau lagi siapa yang harus mereka panggil dengan sebutan ayah, ibu, bapak, emak?
Anjal, istilah populer untuk anak jalanan, adalah fenomena gunung es di negeri kita tercinta ini. Data statistik hanya tinggal angka di puncak gunung es itu. Jauh-jauh lebih banyak anak yang tidak terdata. Walopun nasib mereka yang terdata pun tak ada bedanya. Apa langkah pemerintah disini? Ah..lebih baik jangan ditanya. Beban ekonomi yang kian tinggi akhir-akhir ini dituding sebagai biang meningkatnya jumlah anak yang terpaksa harus turun ke jalanan kita. Kenaikan harga minyak dunia yang memicu kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak tidak pelak menjadi salah satu mata rantainya juga. Para orangtua yang sudah tidak tau lagi harus bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mencekik akhirnya merelakan atau bahkan memaksa anak-anak mereka mencari tambahan demi hidup hari ini. Lalu untuk masa depan? Jangan ditanya...
Ada falsafah orang kita yang mengatakan, banyak anak banyak rejeki. Mungkin hal itulah yang secara mentah-mentah ditelan oleh orangtua para anjal. Dan menjadi satu hal juga yang kadang tidak saya mengerti, jika mereka merasa hidup semakin sulit, mengapa dengan entengnya tetap saja punya 5 anak dengan selisih kelahiran 1 tahun? Agar makin mudah menggelandang mereka ke jalan? Hoho...tidaklah seberani itu saya untuk menjudge seperti itu..
Di satu sisi, nurani saya tergigit. Bukankah saya hanya bisa menghujat? Bukankah saya hanya bisa menggelontorkan kalimat tanya tanpa? Saya hanya bisa memandang kepolosan mereka terenggut keras jalanan tanpa mampu dan mau berbuat apa-apa. Saya pun hanya sibuk dengan diri dan hidup saya tanpa berfikir bahwa mereka butuh lebih dari sekedar recehan atau sesuap nasi bungkus. Salut, angkat topi dan 4 ibu jari saya untuk mereka-mereka yang menyisihkan bahkan mengabdikan hidup mereka untuk anak-anak jalanan. Entah kapan giliran saya...
Seminggu kemudian di senja yang sama.
Mata saya setengah terpicing silau oleh matahari jingga di depan saya ketika sedang menunggu di station MRT. Mengalihkan pandangan beberapa derajat ke selatan, mata saya bersirobok dengan sebuah papan baliho. Tulisan di baliho merah itu mengundang mata saya untuk membacanya. Baby Born Bonus. S$3000 untuk anak pertama dan kedua, $6000 untuk anak ketiga dan keempat. Saya tercekat. Ingatan saya berlarian pada kaki-kaki kecil telanjang di perempatan jalan. Menyanyikan lagu balada yang sama di antara Baby-Benz pejabat kota. Bermimpi sedekah 3000 rupiah, sementara rekannya yang terpisah seribu kilometer mengantongi 3000 dollar ketika pertama kali membuka mata melihat dunia.
Saya tercekat pada ironi tak henti pertiwi.

1 komentar:

  1. mbak... kalo mau ikut menyumbangkan tenaga buat yayasan ini dimana ya?
    Ada no kontaknya...
    Emailin ke : bemz_guitar@yahoo.com
    Di tunggu ya mbak...

    BalasHapus