Senin, 13 Juli 2009



11 Maret 2009 - 21:54 (Diposting oleh: Rumah Dunia)PENTAS MUSIK ANAK JALANAN DI RUMAH DUNIA Oleh: Abdul Salam HS
Rumah Dunia minggu(9\3), mengumpulkan anak-anak jalanan yang berkeliaran di jalan-jalan protokol, atau di sudut-sudut kota Serang, untuk pentas di 7 Pesta Rumah Dunia, 8 Maret lalu. Di sinilah anak-anak jalanan mengeluarkan ekspresinya, menyanyikan beberapa lagu yang sering...

Ironi 1000 km




Sore sudah mendekati rembang petang, saat kendaraan yang membawa saya dan Papa meluncur menjauh dari bandara Ahmad Yani. Berbincang berdua saja dengan Papa seperti ini menjadi hal yang langka sejak 7 tahun yang lalu, tidak hanya karena beliau memang cukup pendiam, tapi juga keputusan saya untuk meninggalkan rumah sejak 2001 membuat frekuensi bertemu kami menjadi jauh dari sering. Kami bicara banyak hal, mulai dari kronologi tewasnya kucing terakhir kami hingga rencana saya ke depan dan harapan-harapan Papa dalam rencana-rencana saya. Terasa manis ...


Saat taksi berhenti di lampu merah, some where, di luar kota Semarang, saya lihat Papa menerawang melihat keluar. Saya ikuti pandangannya. Anak-anak seusia sepupu-sepupu kecil saya, tak lebih dari 12 tahun, rata-rata 7-8 tahun. Rambut kemerahan, kulit kering coklat gelap menunjukkan terik matahari, debu jalanan, dan karbondioksida knalpot kendaraan telah akrab dengan hari-hari mereka. Mereka meneriakkan asongan, menjeritkan lagu-lagu balada orang dewasa, atau sekedar menadah tangan mengharap kasihan dengan wajah polos mereka diantara laju mobil yang bahkan kadang jendela pintunya saja lebih tinggi dari leher mereka. Miris. Saya tidak menanyakan apa yang Papa saya pikirkan saat itu, karena saya pribadi selalu punya pertanyaan yang sama pada diri saya sendiri setiap kali terpaku pada pemandangan yang sama. Siapa dan dimana orang tua mereka?


Pertanyaan itu selalu muncul, karena masa kecil saya selalu dipenuhi dengan instruksi untuk pulang tepat waktu setelah sekolah, tidur siang, pamit pada orang di rumah tiap kali akan pergi lengkap dengan laporan akan pergi kemana, dengan siapa, dan seberapa lama. Hampir bisa dibilang, meskipun jaman itu teknologi komunikasi belum sepesat sekarang, mereka selalu update dengan kondisi saya. Lalu pada mereka yang bermain dengan kerasnya jalanan, apakah orangtua mereka mengetahuinya? Tidakkah mereka merasa kuatir? Atau, justru mereka ada di jalan karena tuntutan kondisi ekonomi orang tua? Dan atau bahkan, mereka tak tau lagi siapa yang harus mereka panggil dengan sebutan ayah, ibu, bapak, emak?
Anjal, istilah populer untuk anak jalanan, adalah fenomena gunung es di negeri kita tercinta ini. Data statistik hanya tinggal angka di puncak gunung es itu. Jauh-jauh lebih banyak anak yang tidak terdata. Walopun nasib mereka yang terdata pun tak ada bedanya. Apa langkah pemerintah disini? Ah..lebih baik jangan ditanya. Beban ekonomi yang kian tinggi akhir-akhir ini dituding sebagai biang meningkatnya jumlah anak yang terpaksa harus turun ke jalanan kita. Kenaikan harga minyak dunia yang memicu kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak tidak pelak menjadi salah satu mata rantainya juga. Para orangtua yang sudah tidak tau lagi harus bagaimana untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mencekik akhirnya merelakan atau bahkan memaksa anak-anak mereka mencari tambahan demi hidup hari ini. Lalu untuk masa depan? Jangan ditanya...
Ada falsafah orang kita yang mengatakan, banyak anak banyak rejeki. Mungkin hal itulah yang secara mentah-mentah ditelan oleh orangtua para anjal. Dan menjadi satu hal juga yang kadang tidak saya mengerti, jika mereka merasa hidup semakin sulit, mengapa dengan entengnya tetap saja punya 5 anak dengan selisih kelahiran 1 tahun? Agar makin mudah menggelandang mereka ke jalan? Hoho...tidaklah seberani itu saya untuk menjudge seperti itu..
Di satu sisi, nurani saya tergigit. Bukankah saya hanya bisa menghujat? Bukankah saya hanya bisa menggelontorkan kalimat tanya tanpa? Saya hanya bisa memandang kepolosan mereka terenggut keras jalanan tanpa mampu dan mau berbuat apa-apa. Saya pun hanya sibuk dengan diri dan hidup saya tanpa berfikir bahwa mereka butuh lebih dari sekedar recehan atau sesuap nasi bungkus. Salut, angkat topi dan 4 ibu jari saya untuk mereka-mereka yang menyisihkan bahkan mengabdikan hidup mereka untuk anak-anak jalanan. Entah kapan giliran saya...
Seminggu kemudian di senja yang sama.
Mata saya setengah terpicing silau oleh matahari jingga di depan saya ketika sedang menunggu di station MRT. Mengalihkan pandangan beberapa derajat ke selatan, mata saya bersirobok dengan sebuah papan baliho. Tulisan di baliho merah itu mengundang mata saya untuk membacanya. Baby Born Bonus. S$3000 untuk anak pertama dan kedua, $6000 untuk anak ketiga dan keempat. Saya tercekat. Ingatan saya berlarian pada kaki-kaki kecil telanjang di perempatan jalan. Menyanyikan lagu balada yang sama di antara Baby-Benz pejabat kota. Bermimpi sedekah 3000 rupiah, sementara rekannya yang terpisah seribu kilometer mengantongi 3000 dollar ketika pertama kali membuka mata melihat dunia.
Saya tercekat pada ironi tak henti pertiwi.

Seks Bebas Merasuki Anak Jalanan di Bandung


Bandung, Sinar Harapan


Perilaku seks bebas telah terjadi di lingkungan anak jalanan kota Bandung. Perilaku seperti ini dilakukan oleh anak jalanan yang berumur 18 tahun ke bawah, karena karena faktor lingkungan yaitu hidup bebas. Selain itu, sebagian dari mereka adalah korban sodomi oleh orang dewasa. Namun tidak jarang pula ada anak di bawah umur yang telah ketagihan berkencan dengan Penjaja Seks Komersial (PSK).Demikian penjelasan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Saudara Sejiwa, Agus Noor Alamsyah, yang juga pemilik Yayasan Saudara Sejiwa yang bergerak dalam bidang pengadaan rumah singgah bagi anak jalanan di Jl. Neglasari II, Bandung, kepada SH, Senin (12/1) malam.Diakuinya, hingga saat ini ada 50 anak jalanan yang tinggal di rumah singgahnya. Sebagian di antara mereka mengaku pernah menjadi korban sodomi dan pelecehan seksual.”Di sini, kami lakukan pembinaan akhlak, pendidikan formal, dan pendekatan dengan kasih sayang karena mereka kebanyakan tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Untuk mencari kasih sayang tersebut mereka lari atau berkumpul di luar rumah hingga terdampar di pinggir jalan,” paparnya.Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan maksimal. Alangkah baiknya, masyarakat peduli terhadap keberadaan mereka. Dari data yang didapat dari Dinas Sosial Kota Bandung, kata Agus, terdapat 6 ribu anak jalanan.Mereka selain menjadi pengemis, ada juga yang menjadi pedagang asongan dan pengamen. Rata-rata mereka mengenyam pendidikan sangat rendah dan telah menggenal seks bebas akibat pergaulan dan lingkungannya. Apabila hal ini tidak segera dicegah, maka dikhawatirkan masa depan mereka buram.Oleh karena itu, LSM Saudara Sejiwa dan LSM lain yang peduli terhadap anak jalanan telah melakukan pembinaan secara maksimal. Saat ini tidak kurang 20 rumah singgah dikelola oleh kalangan LSM.


Dipaksa Orang Dewasa


Seorang anak jalanan yang berada di rumah singgah Yayasan Saudara Sejiwa, Bandung, yang bernama Bunga (12), mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh teman-temannya di jalanan. Saat itu ia dipaksa untuk membuka pakaian yang dikenakannya, lalu beberapa teman cowok seumurnya menggerayangi tubuhnya.”Saya tidak bisa mengelak, karena jika menolak tidak bisa ikut kelompok mereka. Selain itu harus mengadukan hal ini kepada siapa, karena tidak ada orang yang peduli kepada kami. Untunglah saya dapat tinggal di yayasan pak Agus hingga bisa berlindung dan tidur enak. Biasanya saya tidur di emper jalanan, di sanalah kami biasanya digerayangi teman-teman,” ungkapnya.Sementara itu, Wandi (10), mengaku pernah disodomi oleh pria dewasa di salah satu kawasan di Bandung. ”Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia badannya besar dan jika tidak mau, malah diancam. Kejadian ini tidak menimpa saya saja, tapi juga kebanyakan rekan kami. Tapi karena seringnya dibegitukan, akhirnya ada teman saya yang sudah ketagihan,” lanjutnya.Ketua LSM Saudara Sejiwa, Agus Noor Alamsyah, menjelaskan para korban tersebut kini sedang dibinanya. ”Kami berbuat semaksimal mungkin untuk memperbaiki mental mereka. Dan kami hanya mengandalkan biaya dari bantuan Dinsos Jabar dan Kota Bandung, karena tidak mungkin mengandalkan dari orang tua korban.Mereka rata-rata tidak mengenal orang tuanya, malah dari mereka ada yang kabur dari rumah dan ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya,” papar Agus.Sementara itu, Kabag Bina Mitra Polwiltabes Bandung, AKBP Syarief Hidayat, mengatakan karena banyaknya anak yang berkeliaran di jalanan maka sulit untuk membedakan mana yang anak jalanan dan mana yang bukan, karena terkadang anak jalanan berbaur dengan masyarakat sekitar. Selain itu, masalah pelecehan seksual sulit dibuktikan sehingga sulit pula untuk ditindak. Apalagi selama tidak ada laporan dari korban kepada kepolisian.